Presiden Joko Widodo secara khusus memberi perhatian pada polusi udara di Jakarta dan sekitarnya dengan memimpin rapat terbatas, pada Senin (14/08). Dia kemudian memerintahkan jajarannya mengambil langkah jangka pendek hingga jangka panjang, mulai dari rekayasa cuaca sampai penguatan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, pegiat lingkungan menilai sebagian strategi ini belum tepat sasaran. Jakarta disebut ‘sudah kiamat’ sejak tiga dekade lalu, sehingga perlu langkah konkret dan tegas untuk mengendalikan polusi udara.
Berikut tujuh hal mendasar yang perlu Anda ketahui tentang polusi udara Jakarta.
Sejak kapan udara tidak layak berlangsung di Jakarta dan sekitarnya?
Buruknya udara di Jakarta sudah terdeteksi setidaknya pada awal 1990an.
Saat itu, Program Lingkungan PBB (UNEP) melakukan uji petik kualitas udara di 20 megapolitan dari seluruh dunia, termasuk Jakarta. Ibu kota negara Indonesia dipilih karena waktu itu diprediksi akan menjadi wilayah padat penduduk di kemudian hari yang berisiko memiliki kualitas udara yang buruk.
WHO memberikan patokan di satu wilayah tidak boleh memiliki Particulated Matter atau polutan halus berukuran jari-jari 2,5 mikro meter (PM 2,5) melebihi 5 mikrogram (µg) per meter kubik (m3) dalam rata-rata per tahun.
Akhir-akhir ini, berdasarkan pantauan IQAir per 15 Agustus 2023, rata-rata polutan halus yang beredar di udara Jakarta sebanyak 45,3 mikrogram (µg) per meter kubik (m3). Angka ini sembilan kali lebih besar dari ambang batas yang ditentukan WHO (PM 2,5). Artinya, kualitas udara ini tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Apa dampak kualitas udara yang buruk bagi suatu penduduk?
Usia hidup penduduk bisa berkurang.
Menurut studi yang dipublikasi Energy Policy Insitute (EPIC) dari Universitas Chicago, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan polutan halus di udara Jakarta dan sekitarnya meningkat hingga 30%.
Dengan kondisi tersebut, lembaga ini memperkirakan usia harapan hidup penduduk Jakarta dan sekitarnya yang bisa berkurang 2,6 tahun. Usia harapan hidup ini dibandingkan ketika penduduknya bisa menghirup udara dengan standard PM 2,5 dari WHO.
Apakah ada contoh kemenangan mengurangi polusi udara?
Ada.
China pernah berhasil mengurangi jumlah polusi udara di negaranya hingga 40% dari kurun waktu 2013 hingga 2020.
China mencatat rekor tercepat mengurangi polusi udara mengalahkan Amerika Serikat yang membutuhkan tiga dekade untuk mencapai penurunan polusi yang sama sejak diberlakukan aturan yang disebut Clean Air Act pada 1970.
Pada 2013, China mencatat rata-rata 52,4 µg/m3 (PM 2,5), sepuluh kali lebih banyak dari batas yang direkomendasikan oleh WHO hari ini.
China mendeklarasikan aksi nasional perang melawan polusi udara dengan menggelontorkan anggaran hingga Rp4 triliun, mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara, PLTU beralih ke gas alam, menambah pembangkit listrik energi terbarukan, membatasi kendaraan pribadi, dan fokus pada kota-kota besar.
Jurus apa saja yang disiapkan pemerintah Indonesia?
Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya mengambil langkah pendek hingga panjang untuk memerangi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
Jangka pendek: rekayasa cuaca, penerapan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi, memperbanyak ruang terbuka hijau, dan perkantoran didorong menerapkan sistem campuran kerja dari rumah dan kantor.
Jangka menengah: mempercepat pengurangan kendaraan berbasis fosil, dan mendorong warga lebih banyak menggunakan transportasi massal. Selain itu, mempercepat elektrifikasi kendaraan umum.
Jangka panjang: penguatan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengawasan sektor industri dan pembangkit listrik di Jakarta dan sekitarnya.
“Terakhir, mengedukasi publik yang seluas-luasnya,” kata Presiden Jokowi dikutip dari laman Setkab, Senin (14/08).
Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono akan memerintahkan jajarannya mulai bekerja campuran dari rumah dan kantor mulai September mendatang. Rencana ini juga sedang dipertimbangkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar belaku untuk semua ASN.
Apakah rencana strategi ini sudah tepat sasaran?
Tidak semua, kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal, Ahmad Safrudin.
Menurutnya langkah yang tepat dari semua strategi itu adalah penerapan regulasi percepatan penerapan batas emisi, pengurangan kendaraan berbasis fosil, dan mendorong warga menggunakan transportasi massal.
Penerapan penggunaan kendaraan pribadi bisa dengan penerapan jalan berbayar misalnya jalan Depok-Jakarta dan 13 koridor Transjakarta. Lalu, tarif parkir progresif 10 kali lipat di kawasan yang memiliki transportasi massal.
“Kalau diimbau, pakai transportasi massal, ya nggak bisa, mereka akan tetap memilih pakai sepeda motor, mereka kan pilih pakai mobil pribadi,” kata Ahmad Safrudin.
Sementara itu, strategi rekayasa cuaca dinilai akan menelan biaya mahal, perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak bisa mengendalikan sumber cemaran udara, kerja dari rumah “bagus, tapi seberapa signifikan?”.
“Ini banyak jurus yang tidak pas. Meleset,” kata Puput sambil bertanya-tanya kenapa strategi yang disiapkan pemerintah ini mencampuradukan antara perubahan iklim dengan mengendalikan pencemaran udara.
“Presiden bisa mendengar masukan publik,” tambahnya.
Mengapa polusi Jakarta dan sekitarnya baru terasa buruk belakangan ini?
Musim kemarau membuat polutan halus terakumulasi dan bertahan lebih lama di udara dan hasil pemantau polusi terkini juga tersedia di layar telepon warga.
“Kita dikagetkan kondisi saat ini… Kalau tidak [musim kemarau dan monitoring polusi] kita tidak tahu, atau tidak mau tahu,” kata Ahmad Safrudin.
Menurutnya, Jakarta dan sekitarnya ‘sudah kiamat’ sejak tiga dekade lalu – saat UNEP pertama kali mengumumkan Jakarta memiliki kualitas udara di luar ambang batas WHO.
“Kita khawatir bonus demografi itu tidak dapat kita petik setelah 30 tahun kita didera polusi seperti ini,” tambahnya.
Apa solusi polusi udara Jakarta?
Paling cepat enam bulan dan paling lama sampai 2050 mendatang,” ujar Ahmad Safrudin.
Aturan terkait dengan ambang batas emisi baik dari kendaraan pribadi, mesin pabrik dan pembangkit listrik sudah tersedia.
“Kalau razia dilakukan secara ketat, tegas, yang melaksanakan kredibel, transparan, tanpa pandang bulu, maka masyarakat akan ikut. Masyarakat kita itu patuh.
“Cerobong pabrik, PLTU, kalau aparatnya tegas, ini tidak boleh. Enam bulan itu kelar,” menurut Puput.
Namun, jika kondisi begini-begini saja tanpa ada langkah konkret, “Ya, tahun 2050 juga tidak akan tercapai,” tambahnya.