Uncategorized

Makna di Balik Membungkuknya Pelatih Jepang Usai Tersingkir dari Piala Dunia

Momen pelatih Jepang, Hajime Moriyasu membungkuk di hadapan para suporter Jepang menjadi perbincangan di media sosial. Momen itu terjadi ketika timnas Jepang kalah melawan Kroasia di Piala Dunia dalam babak adu penalti (1-3).

Gestur membungkuk tersebut diketahui merupakan permintaan maaf sekaligus bentuk penghormatan dan rasa terima kasih sedalam-dalamnya atas dukungan kepada timnas Jepang dalam Piala Dunia 2022.

Tak lama setelah pertandingan tersebut, potret Moriyasu membungkuk hingga 45 derajat tersebar di Twitter. Para warganet mengapresiasi tindakan pelatih Jepang itu.

Bahkan, tak hanya pelatih Jepang, seluruh timnas Jepang juga turut membungkukkan diri di hadapan para suporter. “Pelatih timnas Jepang membungkuk memberikan hormat kepada suporter Jepang.

Berterima kasih atas dukungan mereka terhadap samurai hebat,” tulis warganet ini. “Setelah gagal membawa Jepang 8 BESAR pelatih Jepang meminta maaf kepada para suporter RESPECT,” kata akun ini.

apa makna di balik membungkuknya pelatih Jepang tersebut? Subkultur masyarakat Jepang Sosiolog Universirtas Airlangga Bagong Suyanto mengatakan bahwa tindakan Moriyasu membungkukkan diri sebagai bentuk permintaan maaf itu merupakan bagian dari subkultur masyarakat Jepang. “Itu memang subkultur masyarakat Jepang,” terang Bagong, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/12/2022).

Menurutnya, tidak hanya pelatih timnas Jepang, para petinggi atau pejabat Jepang lainnya bahkan tidak segan meninggalkan jabatan mereka ketika merasa bersalah. “Ini sudah menjadi sistem nilai yang ter-internalized,” jelas dia. Kendati demikian, Bagong mengatakan bahwa fenomena serupa kecil kemungkinan diikuti oleh para petinggi atau pejabat di Indonesia. “Sulit (diikuti Indonesia). Di sini, keteladanan pimpinan minim,” tandas dia. Makna gerakan membungkuk masyarakat Jepang Sementara itu, gerakan membungkuk yang dilakukan oleh pelatih Jepang itu disebut “ojigi”.

Kebiasaan itu dilakukan masyarakat Jepang sejak abad ke-10 sebelum Masehi. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), ojigi merupakan salah satu budaya salam (aisatsu) di Jepang. Gerakan ini adalah sebuah ungkapan patuh atau tidak menentang.

Ojigi juga bisa dimaknai untuk menghindari tatapan dan memilih menundukkan bagian tubuh yang paling penting, yaitu kepala.

Biasanya disampaikan kepada seseorang yang menunjukkan bahwa ia tidak memiliki rasa permusuhan.

Dari sinilah ojigi dimaknai sebagai ungkapan rasa saling menghormati dan menghapus dinding permusuhan. Namun, budaya ojigi ini mengalami perubahan makna seiring berkembangnya zaman.